Monday, May 31, 2010

Manusia dan Keadilan

Mengamankan ruang untuk hak asasi manusia

Pada awalnya Aceh masih terisolasi dari kesuksesan promosi dari hak-hak asasi manusia yang berlansung di berbagai tempat lain di Indonesia di akhir tahun 1990an. Pada tahun 1998, aktivis pro-demokrasi di Jakarta mendesak presiden Suharto mundur, dan di Aceh tuntutan untuk pemerintah bertanggungjawab bagi pelanggaran hak asasi manusia disuarakan sangat keras oleh masyarakat sipil. Tapi ketika jatuhnya orde baru Suharto membawa kebebasan politik baru yang signifikan dan perbaikan hak asasi manusia pada tingkat nasional. Tapi perubahan positif ini hanya sebentar dirasakan di Aceh karena konflik kemudian berkembang lagi. Malahan, pelanggaran hak asasi manusia makin buruk selama konflik mengamuk, memuncak dalam masa represif perang pada tahun 2003 sampai 2004.

Walaupun undang-undang nasional No. 26/2000 tentangpengadilan hak asasi manusia mendirikan empat pengadilan hak asasi manusia di Indonesia, termasuk satu di Medan di provinsi tetangga Sumatra Utara, tidak ada kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh disidang disana. Hanya sedikit tentara sudah diadili dan divonis, seperti 24 personil yang dihukum oleh pengadilan militer sipil bersama atau koneksitas atas keterlibatan mereka di pembantaian Beutong Atuh pada tahun 1999. Bagaimanapun tidak ada pejabat senior militer dituntut oleh pengadilan hak asasi manusia atas pelanggaran HAM.

Hak asasi manusia dalam proses perdamaian

Situasi di Aceh akhirnya berubah dengan kejadian Tsunami pada Desember 2004, yang membuat para pihak pelaku perang dan komunitas internasional fokus pada bagaimana mencari solusi perdamaian yang mungkin untuk diwujudkan. Tapi meskipun hak asasi manusia menjadi keluhan utama masyarakat Aceh selama tahun-tahun konflik, pelanggaran HAM tidak muncul secara mencolok dalam agenda perundingan perdamaian Helsinki antara GAM dan pemerintah. Kedua belah pihak mempunyai tingkat kegelisahan yang bervariasi dan berbeda tentang memberikan komitmen mereka masalah penegakan keadilan, sementara mediator memilih mengizinkan kedua pihak untuk menententukan agenda mereka sendiri. Suara-suara yang mendukung lebih proses keadilan yang ekstensif, seperti aktivis hak asasi manusia dari masyarakat sipil, sangat sedikit punya ruang dan kesempatan untuk mempengaruhi proses perundingan.

Meskipun demikian, ketika para perunding menghasilkan Nota kesepakatan (MoU) pada bulan Agustus tahun 2005 dan diiringi dengan berakhirnya kekerasan, membuka jalan dan harapan lain bagi para korban konflik yang masih hidup. Tidak seperti persetujuan perdamaian yang dulu, tingkat kekerasan menurun secara drastis lansung sesudah implementasi perjanjian damai dilakukan. Ini meningkatkan ekspektasi yang tinggi terhadap upaya menjawab masalah keadilan dari pelanggaran HAM masa masa lalu. Dalam MoU, makna prinsip terhadap menjawab masalah dan perbaikan kondisi HAM di wujudkan dalam dua artikel: artikel 2.2, ’sebuah pengadilan hak asasi manusia akan didirikan di Aceh’; dan artikel 2.3, ‘ sebuah komisi bagi kebenaran dan rekonsiliasi (TRC) akan didirikan untuk Aceh oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan langkah rekonsiliasi.’

Walaupun detail artikel ini tidak begitu jelas, tetapi aktivis hak asasi manusia Aceh menyambut baik ide tersebut. Keprogresifan yang muncul dari MoU dipererat dalam komitmennya bahwa pemerintah Indonesia akan mematuhi konvesi internasional PBB tentang hal sipil dan hak politik dan ekonomi, sosial dan hak kebudayaan (ICCPR dan ICESCR; artikel 2.1). seperti halnya ratifikasi pemerintah terhadap ICCPR dan ICESCR menyediakan dasar terhadap pengubahan hukum nasional agar sesuai dengan konvesi internasional tersebut, MoU juga membuka ruang yang sama untuk suatu peninjauan kembali hukum-hukum lokal sesuai dengan konvenan internasional HAM (artikel 1.4.2).

Diantara langkah-langkah positif yang lain yakni:

  • pemberian kartu identitas nasional (KTP) pada seluruh warga Aceh kembali ke KTP yang bersifat nasional (artikel 1.2.5). Ini mengakhiri penggunaan KTP merah putih yang membawa akibat pada diskriminasi selamat darurat militer. KTP merah putih harus dibawa oleh setiap warga dalam bepergian yang menyebabkan terjadinya diskriminasi dari terhadap orang Aceh diluar Aceh;
  • ketentuan untuk mengadili personil militer yang melakukan kejahatan sipil pada pengadilan sipil di Aceh (artikel 1.4.5);
  • pelatihan khusus hak asasi manusia bagi personil polisi dilakukan di Aceh atau luar negeri (artikel 4.12).

Di bagian bab ’amnesti dan reintegrasi dalam masyarakat’ terdapat beberapa ketentuan berhubungan dengan keadilan. Artikel tentang amnesti menetapkan bahwa ‘para tahanan politik dan mereka yang ditahan akibat konflik’ akan dibebaskan tanpa syarat. Seksi reintegrasi menjanjikan bahwa, ‘ semua penduduk sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu.’

Pengadilan Hak Asasi Manusia

Upacara perdamaian sudah selesai, tetapi eforia (perasaan senang) menyelimuti MoU berangsur-angsur berkurang. Menjadi jelas bahwa impian orang-orang untuk terwujudnya keadilan tidak akan nyata dan mereka akan perlu mengejar impian mereka jauh lebih lama lagi sebelum bisa menikmati hak-hak mereka. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) secara resmi berlaku pada tanggal 1 Agustus 2006, banyak komprominya terhadap persoalan hak asasi manusia memberikan kabut tebal atas perjanjian perdamaian tersebut.

Pendirian pengadilan hak asasi manusia dan mekanisme kebenaran dan rekonsiliasi sangat jelas ditulis dalam UUPA dengan batas waktu yang tegas (12 bulan), walaupun dengan pertimbangan berbagai kesulitan yang muncul. Seperti misalnya dalam pengalaman Papua yang sulit sekali mendirikan pengadilan hak asasi manusia yang tertuang dalam undang-undang otonomi khusus 2001. Tapi batas waktu ini sudah lama lewat. Terlihat sepertinya hak asasi manusia adalah agenda yang utama sebelumnya, tapi sekarang menjadi suatu ide buruk untuk dilaksanakan dan tidak adanya keinginan untuk membuatnya terjadi.

Persoalan pengadilan hak asasi manusia juga menjadi korban dari berbagai interpretasi yang berbeda. Walaupun perunding GAM Nur Djuli mengumumkan pada awal sebelumnya bahwa pengadilan hak asasi manusia (HRC) akan memiliki kekuatan surut, menurut UUPA (artikel 228), HRC hanya bisa mengadili kasus-kasus pelanggaran yang terjadi setelah pembuatan UUPA. Ini berarti ia tidak bisa menjawab penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Melihat balik ke masa-masa sebelum penandatanganan MoU, berbagai orang yang terlibat dalam proses perundingan mengindikasikan bahwa berbagai pembicaraan terhadap tentang isu hak asasi manusia akan dipimpin dengan semangat ‘melihat masa depan’, dan sebenarnya para perunding hampir mengalami kegagalan mencapai kesepakatan akibat dari debat tentang prinsip prosekusi yang retroaktif. Pendirian pemerintah pusat belum berubah – atau setidaknya terpaksa tidak berubah akibat lemahnya posisi dan kekuatan politik. Bagaimanapun prosekusi yang retroaktif terhadap kejahatan hak asasi manusia secara teknis masih mungkin melalui aturan UU No. 26/2000 tentang hak asasi manusia yang ditetapkan pada tahun 2000. Undang-undang ini mengizinkan suatu aturan bagi pelanggaran hak asasi manusia yang serius sebelum tahun 2000 dapat diadili dalam ‘pengadilan HAM ad hoc’ yang dibentuk oleh presiden dengan persetujuan parlemen. Secara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bisa membawa penemuannya tentang pelanggaran HAM ke DPR dan kemudian diputuskan apakah telah berlansung kejahatan HAM yang serius dan jika benar bisa membentuk suatu pengadilan HAM ad hoc.

Bagi kejahatan HAM setelah tahun 2000, pengadilan hak asasi manusia yang reguler (biasa), seperti yang didirikan di Medan di provinsi Sumatra Utara, bisa dipakai. Bagaimanapun, sebagaimana yang tercatat, walaupun pengadilan Medan ini secara teknis memiliki yuridiksi terhadap Aceh, dan juga ketentuan MoU bahwa pengadilan hak asasi manusia bisa didirikan di Aceh (belum dilaksanakan sejak UUPA disahkan), sama sekali tidak ada kasus berhubungan dengan Aceh diadili di pengadilan HAM di Medan ini. Hambatan utama bagi prinsip retroaktif dan proses hukum dari banyak pelanggaran hak asasi manusia adalah sama: pemerintah dan parlemen di Jakarta tidak memberikan dukungan yang diperlukan bagi sistem yudisial untuk bekerja. Hukum perlu dirubah untuk tidak memberi ruang politik di parlemen mencampuri urusan praktis yudisial, dan untuk memberi keleluasaan tegas pada Komnas HAM agar punya otoritas kuat untuk menjawab berbagai persoalan keadilan HAM domestik yang belum bisa diselesaikan. Dalam sebuah perayaan militer dihadiri oleh pensiunan jendral TNI dan POLRI di Jakarta pada 28 April 2008, figur senior mengekspresikan penolakan yang eksplisit atas investigasi yang dipimpin oleh Komnas HAM. Ini menunjukkan dukungan politik yang semakin melemah peran investigasi Komnas HAM. Menteri pertahanan Juwono Sudarsono bahkan secara publik menyatakan agar para jendral menolak jika dipanggil Komnas HAM, sementara presiden Yudhoyono sendiri tidak menyatakan sikap apapun. Menteri hukum dan hak asasi manusia, Andi Mattalatta, ketika menemani Yudhoyono menerima presiden Marti Ahtisaari di Jakarta pada 7 Mei 2008 untuk mendiskusikan perkembangan proses perdamaian, menjelaskan kepada wartawan bahwa karena pemerintah sudah memberi amnesti terhadap GAM, tidak akan baik memaksakan hukuman terhadap TNI. Ruang untuk keadilan dan fair sebagai obat bagi rakyat Aceh semakin terlihat menyusut.

Kebenaran dan Rekonsiliasi

Sebuah komponen utama yang lebih jauh menuju keadilan transisional adalah pendirian sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi (TRC). TRC bisa memainkan sebuah peran penting dalam melawan budaya revisionimse, impunitas dan penangguhan keadilan, memberikan sebuah jalur tambahan bagi proses yudisial yang diperankan oleh pengadilan HAM ad hoc atau pengadilan hak asasi manusia yang permanen. Sebagai sebuah obat transisional, dia tidak seharusnya menangguhkan hak-hak para korban konflik yang selamat dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga tidak pantas lagi disebut sebagai transisional. Hal ini seharusnya juga berdasarkan pada partisipasi sukarela dan punya karakter yang tidak memaksa (koersif) daripada mekanisme keadilan yang lain.

Keduanya baik MoU dan UUPA berasumsi bahwa pendirian sebuah TRC Aceh adalah sebagai bagian dari struktur TRC nasional. Bagaimanapun, pada akhir tahun 2006 pengadilan konstitusional di Jakarta membatalkan legislasi nasional bagi pendirian TRC nasional, dengan dalih keprihatinan tentang ketentuan amnesti dan kebebasan legal bagi pelaku kejahatan HAM yang serius. Ini mendorong formasi lebih jauh sebuah TRC nasional ke masa depan dan menempatkan seluruh Aceh proses dalam limbo legal. Perdebatan yang sekarang yakni apakah Aceh harus menunggu untuk lahirnya sebuah TRC nasional atau apakah TRC Aceh bisa didirikan berdasarkan peraturan provinsi (qanun) bersama-sama dengan UUPA. Terdapat berbagai pertanyaan disini terhadap apakah qanun bisa memberikan kekuatan legal yang cukup untuk menangani kasus dimana pihak yang bertanggung jawab adalah para elit politik dan militer, dan juga konsekuensi yang besar pada pengadaan budget dari provinsi.

Apakah TRC akhirnya didirikan ditingkat nasional atau Aceh, dia harus menjamin keterlibatan yang berarti bagi para korban konflik dan pelanggaran hak asasi manusia yang selamat. Orang-orang ini bertempat tinggal di daerah pedesaan dan sangat penting untuk melibatkan mereka dalam wacana TRC dan memfasilitasi pemahaman mereka agar bisa menyiapkan mereka untuk bisa ikut serta dalam proses penegakan keadilan. Mereka pemegang mandat utama dalam proses tersebut. Tidak ada pemegang lain yang mempunyai banyak hak legitimasi untuk membentuk proses kebenaran dan rekonsiliasi. Kebenaran dan rekonsiliasi tidak bisa didatangkan atau dikopi dari pengalaman-pengalaman yang lain. Hal ini penting agar ada rasa kepemilikan dalam proses penegakan keadilan dari para korban. Suatu upaya memberikan informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan hal ini kepada korban sangat diperlukan untuk menjamin akses maksimum mereka untuk proses tersebut. Memperhatikan jumlah orang-orang yang menjadi korban menyebar dalam area yang luas, upaya –upaya ini akan menuntut banyak waktu dan sumber daya yang banyak. Bagaimanapun, sebagaimana diperhatikan dalam kontribusi Lina Frodin terhadap jilid ini, reparasi dalam katagori luas dari ‘ korban konflik’ sudah dilakukan walaupun tanpa mekanisme truth telling di dalamnya.

Hak Asasi Manusia bagi Semua

Kesimpulannya, menjadi jelas bahwa ketentuan MoU berhubungan dengan urusan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu sangat tidak jelas untuk bisa menjadi efektif. Apalagi berhadapan dengan hambatan dari penyelenggara politik dan rintangan kelembagaan dalam indonesia. Hal ini juga ditambah dengan perbedaan posisi dari berbagai lembaga internasional dan kurangnya leverage mereka bagi menekan Indonesia. Serta dengan terbatasnya kemampuan masyarakat sipil untuk mempengaruhi perubahan legislatif. Tapi jika MoU, UUPA dan hukum-hukum yang ada tidak menyediakan jawaban yang bisa dipegang untuk persoalan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, maka tantangan terbesar adalah merumuskan rencana aksi yang paling baik bagi menjawab isu ini.

Terdapat optimisme berkaitan dengan HAM kalau melihat dimensi yang lain dari hak asasi manusia yan berlansung di Aceh. Dibandingkan dengan sebelumnya dimana hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan hak budaya masih tidak begitu mendapat perhatian di Aceh, sekarang isu ini HAM dalam konteks ini menjadi sangat penting. Sebelumnya hak asasi manusia karena identik dengan konflik menjadi dihubungkan dengan pertumpahan darah dan kekerasan fisik. Sekarang hak ekonomi, sosial dan hak-hak budaya sudah menjadi sangat penting, contohnya dalam persoalan hak rumah yang memadai bagi orang-orang yang selamat dari Tsunami dan konflik. Ini sudah menjadi sebuah prioritas dalam mendefinisi sebuah dunia baru bagi pemenuhan integrasi hak asasi manusia di Aceh, bersama-sama dengan hak pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Kebudayaan dan struktur hak asasi manusia di Aceh perlu di dirombak. Orang-orang harus tahu hak-hak mereka, jadi secara mental mereka bisa menperbaiki diri mereka dari korban yang meminta bantuan terus menerus dari pemerintah menjadi orang-orang yang masih hidup dan yang menyatakan hak-hak mereka. Para pejabat pemerintah Aceh harus mengerti mereka dengan sangat baik juga, jadi mereka bukan hanya memberikan bantuan tapi sepenuhnya memberikan hormat pada pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia di Aceh. Dengan memperbaiki mental-mental yang seperti ini dan mendidik masyarakat, generasi setelah konflik dan Tsunami akan mampu mengembangkan potensi mereka secara penuh.

Aceh harus melihat kebelakang dan kedepan dalam waktu yang sama. Persoalan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu harus diselesaikan sebagai sebuah fondasi yang baru untuk membangun masa depan, dimana orang-orang bisa bebas dari ketakutan akan pengulangan kekejaman yang sama dimasa depan. Dalam waktu yang bersamaan, penting untuk melihat kedepan untuk membangun sebuah era baru bagi kemakmuran dan martabat dimana semua orang bisa hidup secara layak dan manusiawi.

0 comments:

Post a Comment